TOP NEWS

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Maecenas mattis nisi felis, vel ullamcorper dolor. Integer iaculis nisi id nisl porta vestibulum.

Sabtu, 11 Mei 2013

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA




A.    TAX TREATY
1         1.      Pemajakan Atas Passive Income
Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangible maupun intangible properties (termasuk dalam bentuk financial investment). Jenis-jenis penghasilan dalam tax treaty yang dikategorikan sebagai passive income adalah: penghasilan dari harta tidak bergerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalti, capital gain, serta pensiun.
a.      Penghasilan dari harta tidak bergerak
Atas penghasilan dari harta tak bergerak, hak pemajakan berada pada negara tempat harta itu berada dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan pajak negara yang bersangkutan.
b.      Penghasilan dari deviden
Hak pemajakan atas deviden yang berasal dari wilayah yurisdiksinya, merupakan hak pemajakan terbatas yang tidak melebihi jumlah tarif pajak yang diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Terdapat ketentuan yang mengecualikan penerapan prinsip hak pemajakan terbatas kepada negara sumber atas penghasilan penduduk dari negara domisili apabila terdapat hubungan efektif antara deviden yang diperolehnya dengan keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber, sehingga apabila ketentuan tersebut dipenuhi, maka negara sumber memiliki hak pemajakan penuh dan deviden tersebut diperlakukan sebagai bagian dari laba usaha Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber.
c.       Penghasilan dari bunga
Istilah “bunga” yang dimaksud adalah pendapatan bunga yang berasal dari uang yang dipinjamkan, termasuk pula bunga yang timbul dari perjanjian kredit. Terkait hak pemajakan atas penghasilan bunga yang berasal dari wilayah yurisdiksinya, negara sumber diberikan hak pemajakan terbatas yang tidak melebihi tarif pajak yang diatur dalam P3B. Pengecualian penerapan prinsip hak pemajakan terbatas kepada negara sumber atas penghasilan bunga  yang diperoleh penduduk dari negara domisili apabila terdapat hubungan efektif antara bunga yang diperolehnya dengan keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber, sehingga apabila ketentuan tersebut dipenuhi maka negara sumber memiliki hak pemajakan penuh atas bunga yang timbul di wilayahnya dan bunga tersebut diperlakukan sebagai bagian dari laba usaha Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber.
d.      Penghasilan dari royalty
Terkait hak pemajakan atas royalty yang berasal dari wilayah yurisdiksinya, negara sumber diberikan hak pemajakan terbatas yang tidak melebihi tarif pajak yang diatur dalam P3B. Pengecualian penerapan prinsip hak pemajakan terbatas kepada negara sumber atas royalty yang diperoleh penduduk dari negara domisili apabila terdapat hubungan efektif antara royalti yang diperolehnya dengan keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber, sehingga apabila ketentuan tersebut dipenuhi maka royalty tersebut diperlakukan sebagai bagian dari laba usaha Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber.
e.       Penghasilan dari capital gain
Pembagian hak pemajakan dari penjualan atau pengalihan harta (capital gain) diatur sebagai berikut:
-          Penghasilan dari keuntungan penjualan atau pengalihan harta tak bergerak, hak pemajakan sepenuhnya ada pada negara di mana harta tak bergerak tersebut berada.
-          Penghasilan dari keuntungan penjualan atau pengalihan harta bergerak, hak pemajakan sepenuhnya ada pada negara di mana harta bergerak tersebut berada.
-          Penghasilan dari keuntungan penjualan atau pengalihan harta tak bergerak maupun harta bergerak yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap (BUT), hak pemajakan sepenuhnya ada pada negara di mana Bentuk Usaha Tetap (BUT) tersebut berada.
f.        Penghasilan berupa pensiun
Atas penghasilan berupa uang pensiun, hak pemajakan sepenuhnya berada pada negara tempat yang melakukan pembayaran pensiun tersebut.

2           2.      Pemajakan atas Dependent dan Independent Personal Services
a.      Pemajakan atas Dependent Personal Services (Pekerjaan dalam Hubungan Kerja)
Hak pemajakan penuh atas penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja, berada pada negara tempat dimana pekerjaan tersebut dilakukan, terkecuali apabila dipenuhi 3 syarat kumulatif berikut:
-          Penerima imbalan berada di negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan tidak melebihi time test yang diatur dalam P3B.
-          Imbalan yang dibayarkan tidak merupakan beban yang ditanggung pemberi kerja yang juga adalah penduduk negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan.
-          Imbalan yang dibayarkan tidak merupakan beban yang ditanggung pemberi kerja yang juga adalah BUT di negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan.
b.      Pemajakan atas Independent Personal Services (Penghasilan dari Usaha)
Penghasilan dari usahan dapat terdiri dari penghasilan jasa-jasa professional yang meliputi kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian, pendidikan, atau pengajaran yang dilakukan secara professional dan pekerjaan bebas yang dilakukan oleh dokter, dokter gigi, ahli teknik, arsitek, akuntan, dan ahli hukum.
Negara sumber melepaskan hak pemajakannya atas penghasilan dari usaha tersebut yang timbul di wilayah yurisdiksinya, kecuali jasa professional atau pekerjaan bebas tersebut dilakukan melalui suatu tempat tetap di negara tersebut.
Dalam rangka melindungi hak pemajakan negara sumber atas penghasilan di wilayah yurisdiksinya, digunakan kriteria lain yaitu time test (tes waktu). Apabila penghasilan dari usaha tersebut di negara sumber melebihi tes waktu yang diatur dalam P3B, maka negara tersebut memiliki wewenang pemajakan penuh atas penghasilan tersebut.

B.     KONSEP BUT (PERMANENT ESTABLISHMENT)
Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment adalah kriteria bagi negara sumber untuk dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari business profit yang diterima atau dijalankan oleh Wajib Pajak Luar Negeri. Konsep BUT dalam model persetujuan penghindaran pajak berganda dimaksudkan untuk menentukan hak pemajakan negara sumber agar dapat mengenakan pajak atas laba usaha yang diterima atau diperoleh oleh Subjek Pajak dari negara lainnya.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Perbedaan perlakuan perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah (i) BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena ia bukan penduduk Indonesia, dan (ii) atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax (atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dikenakan tambahan pajak). Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner di Indonesia, pengujian keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty partner tersebut di Indonesia sebagai kriteria diperlukan untuk menentukan apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan tersebut.
BUT adalah suatu tempat usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian besar usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang mewarnai suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha berupa prasarana, (ii) tempat usaha ini harus bersifat tetap, (iii) kegiatan usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut, dan (iv) sifatnya harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam memberikan laba usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya).
Dalam rangka penghindaran pajak berganda, keberadaan suatu BUT sangat diperlukan sebagai kriteria untuk menentukan apakah Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner. Namun kriteria tersebut tidak berlaku apabila penerima penghasilan (beneficial owner) berasal dari negara non treaty partner.
Istilah “Bentuk Usaha Tetap” meliputi:
1.      Tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, tempat kerja
2.      Pertanian atau perkebunan
3.      Suatu pertambangan, suatu sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau tempat lainnya untuk pengambilan sumber kekayaan alam
4.      Suatu lokasi bangunan konstruksi, proyek instalasi atau proyek perakitan yang berlangsung untuk suatu masa yang melebihi tes waktu yang diatur dalam P3B.
5.      Pemberian jasa-jasa termasuk jasa-jasa konsultan oleh suatu perusahaan melalui seorang pegawai atau pegawai-pegawai lain (selain daripada seorang agen yang bertindak bebas) di suatu negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan dalam suatu masa yang melebihi tes waktu yang diatur dalam P3B.
6.      Suatu perusahaan dari suatu negara dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di negara lain apabila perusahaan tersebut menjalankan kegiatan pengawasan di negara lain tersebut untuk suatu masa lebih dari tes waktu yang diatur dalam P3B yang berhubungan dengan suatu proyek konstruksi, proyek instalasi atau proyek perakitan yang dilakukan di negara lain tersebut.
7.      Perusahaan asuransi yang memungut premi di wilayah negara pihak lain atau menanggung resiko-resiko yang terjadi di sana melalui seorang pegawai atau perwakilan yang bukan merupakan agen yang bertindak bebas.
Istilah “Bentuk Usaha Tetap” tidak dianggap meliputi:
  1. Apabila perusahaan dari suatu negara treaty partner menjalankan kegiatan-kegiatan yang terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut:
a.      penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dimaksudkan untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
b.      pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan atau diolah lebih lanjut oleh perusahaan lain;
c.       pengurusan tempat usaha tetap semata-mata dimaksudkan untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan, mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan, untuk tujuan periklanan, memberikan informasi, untuk tujuan peneiltian, atau untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun penunjang bagi perusahaan.
  1. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya melalui agen yang bertindak bebas (independent agent). Independent agent adalah agen yang menjalankan usahanya secara bebas tanpa adanya instruksi dari perusahaan di luar negeri (non resident taxpayer) misalnya makelar, komisioner umum.
  2. Apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty partner yang menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya ataupun menjalankan usaha di negara treaty lainnya (baik melalui suatu BUT maupun dengan cara lain).
C.    TRANSFER PRICING
Dalam dunia bisnis yang diwarnai oleh tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya, bagi perusahaan multinasional yang operasionalnya meliputi beberapa negara seringkali menggunakan pajak penghasilan sebagai salah satu unsur yang dapat mengoptimalkan laba yang diperolehnya, dengan cara memaksimalkan penghasilannya di negara yang bertarif pajak rendah dan meminimalkan penghasilannya di negara yang bertarif pajak tinggi. Tindakan tersebut umumnya dilakukan dengan mengatur harga transaksi antar sesama group perusahaan atau yang mempunyai hubungan istimewa yang dikenal dengan istilah harga transfer (transfer pricing).
Dari sisi pemerintah, transfer pricing dapat mengakibatkan berkurangnya ataupun hilangnya potensi penerimaan negara khususnya pajak dari perusahaan miltinasional. Perusahaan multinasional cenderung untuk berusaha merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country (negara yang memiliki tarif pajak rendah) dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country (negara yang memiliki tarif pajak tinggi). Hal ini dapat dikatakan bahwa perusahaan multinasional berusaha menggeser kewajiban pajaknya dari negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang memiliki tarif pajak rendah.
  1. Advance Pricing Agreement (APA)
Negara-negara yang melihat bahwa perbuatan tersebut dapat mengganggu penerimaan pajaknya, membuat ketentuan yang mengatur agar transaksi yang terjadi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa menggunakan harga wajar, yaitu harga yang terjadi akibat transaksi yang dilakukan oleh dua perusahaan yang masing-masing independen. Dalam rangka terdapat penyesuaian harga transfer antara otoritas pajak dengan para wajib pajak, telah diperkenalkan model “Kesepakatan Harga Transfer-Advance Pricing Agreement” sebagaimana disebutkan dalam bagian penjelasan atas pasal 18 ayat 3a UU No. 36 Th 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Prosedur penerapan APA umumnya dilakukan sebagai berikut:
a.      WP mengajukan permohonan kepada Instansi Pajak untuk dapat diberlakukannya APA untuk suatu periode tertentu.
b.      Selanjutnya WP mempresentasikan usulan besaran harga yang akan diterapkan lengkap dengan semua data yang diperlukan untuk menghitung besaran harga tersebut.
c.       Oleh Instansi Pajak, atas usulan besaran harga tersebut dilakukan semacam pengujian untuk meyakinkan sampai sejauh mana usulan tersebut dapat diterima.
  1. Metode Penentuan Harga Wajar
Sesuai ketentuan UU PPh pasal 18 ayat 3, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
a.      Metode Harga Pasar Sebanding (Comparable Uncontrolled Price Method)
Metode ini diterapkan dengan pembandingan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan isitmewa tersebut dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (pembanding independen).
Contoh:
PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B, PT A membebankan harga jual Rp160 per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT X yang tidak mempunyai hubungan istimewa, yaitu Rp200 per unit. Dalam hal ini, harga wajar atas barang tersebut adalah Rp200 per unit.
b.      Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method)
Metode ini diterapkan dalam hal wajib pajak yang diperiksa bergerak dalam bidang usaha perdagangan yaitu produk yang telah dibeli dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya.
Contoh:
Berhubungan dengan contoh 1, PT B menjual kembali barang yang dibeli dari PT A kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp250 per unit. Perusahaan lain, PT C, yang independen, juga menyerahkan produk yang sama kepada PT B yang juga independen, dengan kenaikan harga jual 20%. Dengan demikian harga jual yang wajar dari PT A kepada PT B adalah Rp250 – (20% x Rp250) = Rp200.
c.       Metode Harga Pokok Plus
Metode ini umumnya digunakan pada usaha pabrikasi yang menjual produk kepada afiliasinya untuk diproses lebih lanjut.
Contoh:
Berhubungan dengan contoh 1, misalnya PT A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu dari pemasok yang tidak ada hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi adalah Rp150 dan diketahui laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antarpihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah 40% dari harga pokok. Maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT A ke PT B adalah Rp150 + (40% x Rp150) = Rp210.

D.    TREATY SHOPPING
Treaty shopping adalah suatu skema untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif pemotongan pajak tersebut, atau dapat dikatakan bahwa treaty shopping merupakan penggunaan P3B oleh wajib pajak yang bukan wajib pajak dalam negeri dari negara mitra perjanjian melalui conduit company di salah satu negara mitra perjanjian untuk mendapat fasilitas yang diberikan oleh P3B yang bersangkutan.
Misalnya P3B Indonesia dengan Belanda menurunkan tarif potongan pajak atas bunga dari 20% menjadi 0%. X co adalah wajib pajak negara C yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia. Kalau X co membeli langsung obligasi PT A (wajib pajak di Indonesia), maka bunganya akan dikenakan pemotongan pajak karena antara negara C dan Indonesia tidak mempunyai P3B.  Untuk menganulir beban pajak tersebut X co bisa menitipkan sejumlah dana ke BBv (perusahaan afiliasi) di Belanda untuk membeli obligasi PT A. Dengan skema itu maka bunga obligasi yang dibayar PT A kepada BBv tidak dikenakan pajak, sesuai P3B Indonesia dan Belanda. Di Belanda, BBv membayar bunga kepada X co dan tidak ada potongan pajak atas bunga. BBv selain tidak kena pajak karena penghasilan bunga akan dikurangi dengan biaya bunga, juga tidak memotong pajak atas bunga yang dibayarkan tersebut. Bunga tersebut akhirnya hanya akan kena pajak di negara C apabila negara ini menerapkan pemajakan global.

E.     APLIKASI PAJAK INTERNASIONAL DALAM PERUSAHAAN MULTINASIONAL
Dalam rangka mengevaluasi kebijakan perdagangan dan efektivitas lalu lintas modal internasional, adalah kurang efisien apabila hanya difokuskan secara sempit pada tarif, kuota dan subsidi-subsidi non-pajak saja, sebaba faktor pajak pun tidak sedikit perannya dalam evaluasi kebijakan dimaksud. Kebijakan perpajakan kadang-kadang sangat berperan dalam pengambilan keputusan mengenai penanaman dan pembiayaan perusahaan yang akan melakukan investasi di luar negeri. Walaupun pada dasarnya sistem perpajakan di seluruh dunia hampir serupa satu sama lainnya, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan-perbedaan yang menyangkut berbagai dimensi, seperti:
1.      Tarif marjinal yang berbeda secara esensial dari tarif 0% di negara-negara yang disebut surga pajak (tax-haven countries), sampai tarif 60% di negara-negara tertentu yang dikenal sebagai negara berpajak tinggi (high-tax countries).
2.      Definisi penghasilan yang berbeda secara dramatis antar-satu negara dengan negara lainnya.
3.      Pengertian tentang penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan pajak.
4.      Wajib pajak hanya dipajaki dari penghasilan dalam negeri atau termasuk penghasilan luar negeri.
Perusahaan multinasional memiliki posisi yang menentukan dalam hal prinsip yang akan digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya, maka dapat saja perusahaan multinasional menggunakan harga yang menyimpang dari harga yang berlaku secara umum. Penyimpangan harga dimaksud adalah penyimpangan dari harga yang disebut “arm’s length price” yang lazimnya berlaku dan disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi terhadap barang yang sama dan dalam kondisi yang sama pula, apabila perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan istimewa. Perusahaan multinasional tersebut dapat saja melakukan transaksi antargrup yang menyimpang dari arm’s length price, apakah harga transaksi lebih rendah atau lebih tinggi, hal ini disinyalir sebagai usaha untuk menggeser laba perusahaan dari satu grup ke grup lainnya yang berarti pula pajak yang terutang di kedua grup yang terlibat tersebut akan mengalami perubahan.
Oleh karena instansi pajak dari masing-masing negara yang terlibat, merasa perlu untuk menentukan berapa besar penghasilan kena pajak yang wajar dari unit perusahaan atau cabang-cabang perusahaan dari suatu grup yang beroperasi di daerah yurisdiksinya, maka sangatlah penting untuk mempelajari masalah kebijakan harga (price method) yang diterapkan di perusahaan multinasional tersebut, khususnya apabila instansi pajak yang bersangkutan mempunyai alasan yang kuat bahwa unit/grup perusahaan di daerah yurisdiksinya melaporkan dalam SPT penghasilan kena pajak yang tidak wajar. Untuk ini, undang-undang perpajakan di negara yang bersangkutan hendaknya memungkinkan instansi pajak di negara tersebut untuk melakukan verifikasi dan bahkan sampai kepada penyidikan sekalipun serta mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi fiskal terhadap harga transfer yang dilaporkan dalam SPT, sesuai dengan arm’s length price.
Masalah yang paling sering dibicarakan dalam rangka perencanaan pajak perusahaan multinasional adalah menyangkut masalah pengenaan pajak atas penghasilan yang berbeda yurisdiksi pajaknya. Pemecahan masalah ini biasanya dilakukan melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, yang bertujuan mencegah pengenaan pajak berganda atas penghasilan perusahaan multinasional dengan cara memecah-mecah penghasilan dan biaya yang dialokasikan di berbagai yurisdiksi pajak tersebut.

5 komentar: