PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
A.
TAX TREATY
1 1. Pemajakan
Atas Passive Income
Passive income merupakan penghasilan
yang berasal dari investasi dalam bentuk tangible
maupun intangible properties
(termasuk dalam bentuk financial
investment). Jenis-jenis penghasilan dalam tax treaty yang dikategorikan sebagai passive income adalah: penghasilan dari harta tidak bergerak,
penghasilan dari dividen, bunga, royalti, capital gain, serta pensiun.
a. Penghasilan dari harta tidak
bergerak
Atas penghasilan dari harta tak
bergerak, hak pemajakan berada pada negara tempat harta itu berada dan tunduk
pada ketentuan peraturan perundang-undangan pajak negara yang bersangkutan.
b. Penghasilan dari deviden
Hak pemajakan atas deviden yang
berasal dari wilayah yurisdiksinya, merupakan hak pemajakan terbatas yang tidak
melebihi jumlah tarif pajak yang diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B). Terdapat ketentuan yang mengecualikan penerapan prinsip hak
pemajakan terbatas kepada negara sumber atas penghasilan penduduk dari negara
domisili apabila terdapat hubungan efektif antara deviden yang diperolehnya
dengan keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara
sumber, sehingga apabila ketentuan tersebut dipenuhi, maka negara sumber memiliki
hak pemajakan penuh dan deviden tersebut diperlakukan sebagai bagian dari laba
usaha Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber.
c. Penghasilan dari bunga
Istilah “bunga” yang dimaksud adalah
pendapatan bunga yang berasal dari uang yang dipinjamkan, termasuk pula bunga
yang timbul dari perjanjian kredit. Terkait hak pemajakan atas penghasilan
bunga yang berasal dari wilayah yurisdiksinya, negara sumber diberikan hak
pemajakan terbatas yang tidak melebihi tarif pajak yang diatur dalam P3B. Pengecualian
penerapan prinsip hak pemajakan terbatas kepada negara sumber atas penghasilan
bunga yang diperoleh penduduk dari
negara domisili apabila terdapat hubungan efektif antara bunga yang
diperolehnya dengan keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di
negara sumber, sehingga apabila ketentuan tersebut dipenuhi maka negara sumber
memiliki hak pemajakan penuh atas bunga yang timbul di wilayahnya dan bunga
tersebut diperlakukan sebagai bagian dari laba usaha Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau
tempat tetapnya di negara sumber.
d. Penghasilan dari royalty
Terkait hak pemajakan atas royalty
yang berasal dari wilayah yurisdiksinya, negara sumber diberikan hak pemajakan
terbatas yang tidak melebihi tarif pajak yang diatur dalam P3B. Pengecualian
penerapan prinsip hak pemajakan terbatas kepada negara sumber atas royalty yang
diperoleh penduduk dari negara domisili apabila terdapat hubungan efektif
antara royalti yang diperolehnya dengan keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
atau tempat tetapnya di negara sumber, sehingga apabila ketentuan tersebut
dipenuhi maka royalty tersebut diperlakukan sebagai bagian dari laba usaha
Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tempat tetapnya di negara sumber.
e. Penghasilan dari capital gain
Pembagian hak pemajakan dari
penjualan atau pengalihan harta (capital gain) diatur sebagai berikut:
-
Penghasilan dari keuntungan
penjualan atau pengalihan harta tak bergerak, hak pemajakan sepenuhnya ada pada
negara di mana harta tak bergerak tersebut berada.
-
Penghasilan dari keuntungan
penjualan atau pengalihan harta bergerak, hak pemajakan sepenuhnya ada pada
negara di mana harta bergerak tersebut berada.
-
Penghasilan dari keuntungan
penjualan atau pengalihan harta tak bergerak maupun harta bergerak yang
dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap (BUT), hak pemajakan sepenuhnya ada pada
negara di mana Bentuk Usaha Tetap (BUT) tersebut berada.
f.
Penghasilan
berupa pensiun
Atas
penghasilan berupa uang pensiun, hak pemajakan sepenuhnya berada pada negara
tempat yang melakukan pembayaran pensiun tersebut.
2 2. Pemajakan atas Dependent dan Independent
Personal Services
a. Pemajakan atas Dependent Personal
Services (Pekerjaan dalam Hubungan Kerja)
Hak pemajakan penuh atas penghasilan
yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja, berada pada
negara tempat dimana pekerjaan tersebut dilakukan, terkecuali apabila dipenuhi
3 syarat kumulatif berikut:
-
Penerima imbalan berada di negara
tempat pekerjaan tersebut dilakukan tidak melebihi time test yang diatur dalam
P3B.
-
Imbalan yang dibayarkan tidak
merupakan beban yang ditanggung pemberi kerja yang juga adalah penduduk negara
tempat pekerjaan tersebut dilakukan.
-
Imbalan yang dibayarkan tidak
merupakan beban yang ditanggung pemberi kerja yang juga adalah BUT di negara
tempat pekerjaan tersebut dilakukan.
b. Pemajakan atas Independent Personal
Services (Penghasilan dari Usaha)
Penghasilan dari usahan dapat
terdiri dari penghasilan jasa-jasa professional yang meliputi kegiatan di
bidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian, pendidikan, atau pengajaran
yang dilakukan secara professional dan pekerjaan bebas yang dilakukan oleh
dokter, dokter gigi, ahli teknik, arsitek, akuntan, dan ahli hukum.
Negara sumber melepaskan hak
pemajakannya atas penghasilan dari usaha tersebut yang timbul di wilayah
yurisdiksinya, kecuali jasa professional atau pekerjaan bebas tersebut
dilakukan melalui suatu tempat tetap di negara tersebut.
Dalam
rangka melindungi hak pemajakan negara sumber atas penghasilan di wilayah
yurisdiksinya, digunakan kriteria lain yaitu time test (tes waktu). Apabila
penghasilan dari usaha tersebut di negara sumber melebihi tes waktu yang diatur
dalam P3B, maka negara tersebut memiliki wewenang pemajakan penuh atas
penghasilan tersebut.
B.
KONSEP
BUT (PERMANENT ESTABLISHMENT)
Bentuk
Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment adalah kriteria bagi negara
sumber untuk dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari business profit yang
diterima atau dijalankan oleh Wajib Pajak Luar Negeri. Konsep BUT dalam model
persetujuan penghindaran pajak berganda dimaksudkan untuk menentukan hak
pemajakan negara sumber agar dapat mengenakan pajak atas laba usaha yang
diterima atau diperoleh oleh Subjek Pajak dari negara lainnya.
Bentuk Usaha Tetap
(BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan
relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Perbedaan perlakuan
perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah
(i) BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner
lainnya karena ia bukan penduduk Indonesia, dan (ii) atas laba bersih setelah
pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax (atas
laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan asing di
Indonesia dikenakan tambahan pajak). Untuk menghindari pengenaan pajak berganda
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty
partner di Indonesia, pengujian keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty
partner tersebut di Indonesia sebagai kriteria diperlukan untuk menentukan
apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan tersebut.
BUT adalah suatu tempat
usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian
besar usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang
mewarnai suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha
berupa prasarana, (ii) tempat usaha ini harus bersifat tetap, (iii) kegiatan
usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut, dan (iv) sifatnya
harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam memberikan laba
usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya).
Dalam rangka
penghindaran pajak berganda, keberadaan suatu BUT sangat diperlukan sebagai
kriteria untuk menentukan apakah Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak
untuk memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari
negara treaty partner. Namun kriteria tersebut tidak berlaku apabila
penerima penghasilan (beneficial owner) berasal dari negara non
treaty partner.
Istilah “Bentuk Usaha
Tetap” meliputi:
1.
Tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor,
pabrik, bengkel, tempat kerja
2.
Pertanian
atau perkebunan
3.
Suatu
pertambangan, suatu sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau tempat lainnya
untuk pengambilan sumber kekayaan alam
4.
Suatu lokasi
bangunan konstruksi, proyek instalasi atau proyek perakitan yang berlangsung
untuk suatu masa yang melebihi tes waktu yang diatur dalam P3B.
5.
Pemberian
jasa-jasa termasuk jasa-jasa konsultan oleh suatu perusahaan melalui seorang
pegawai atau pegawai-pegawai lain (selain daripada seorang agen yang bertindak
bebas) di suatu negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan dalam suatu masa
yang melebihi tes waktu yang diatur dalam P3B.
6.
Suatu
perusahaan dari suatu negara dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di
negara lain apabila perusahaan tersebut menjalankan kegiatan pengawasan di
negara lain tersebut untuk suatu masa lebih dari tes waktu yang diatur dalam
P3B yang berhubungan dengan suatu proyek konstruksi, proyek instalasi atau
proyek perakitan yang dilakukan di negara lain tersebut.
7.
Perusahaan
asuransi yang memungut premi di wilayah negara pihak lain atau menanggung
resiko-resiko yang terjadi di sana melalui seorang pegawai atau perwakilan yang
bukan merupakan agen yang bertindak bebas.
Istilah “Bentuk Usaha
Tetap” tidak dianggap meliputi:
- Apabila perusahaan dari suatu negara treaty partner menjalankan kegiatan-kegiatan yang terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut:
a. penggunaan fasilitas-fasilitas
semata-mata dimaksudkan untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang
dagangan milik perusahaan;
b. pengurusan persediaan barang-barang
atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan
atau diolah lebih lanjut oleh perusahaan lain;
c. pengurusan tempat usaha tetap
semata-mata dimaksudkan untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan,
mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan, untuk tujuan periklanan,
memberikan informasi, untuk tujuan peneiltian, atau untuk menjalankan
kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun penunjang bagi perusahaan.
- Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya melalui agen yang bertindak bebas (independent agent). Independent agent adalah agen yang menjalankan usahanya secara bebas tanpa adanya instruksi dari perusahaan di luar negeri (non resident taxpayer) misalnya makelar, komisioner umum.
- Apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty partner yang menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya ataupun menjalankan usaha di negara treaty lainnya (baik melalui suatu BUT maupun dengan cara lain).
C. TRANSFER
PRICING
Dalam
dunia bisnis yang diwarnai oleh tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda
antara satu negara dengan negara lainnya, bagi perusahaan multinasional yang
operasionalnya meliputi beberapa negara seringkali menggunakan pajak
penghasilan sebagai salah satu unsur yang dapat mengoptimalkan laba yang
diperolehnya, dengan cara memaksimalkan penghasilannya di negara yang bertarif
pajak rendah dan meminimalkan penghasilannya di negara yang bertarif pajak
tinggi. Tindakan tersebut umumnya dilakukan dengan mengatur harga transaksi
antar sesama group perusahaan atau yang mempunyai hubungan istimewa yang
dikenal dengan istilah harga transfer (transfer pricing).
Dari
sisi pemerintah, transfer pricing dapat mengakibatkan berkurangnya ataupun
hilangnya potensi penerimaan negara khususnya pajak dari perusahaan
miltinasional. Perusahaan multinasional cenderung untuk berusaha merelokasi
penghasilan globalnya pada low tax country (negara yang memiliki tarif pajak
rendah) dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax
country (negara yang memiliki tarif pajak tinggi). Hal ini dapat dikatakan
bahwa perusahaan multinasional berusaha menggeser kewajiban pajaknya dari
negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang memiliki tarif pajak
rendah.
- Advance Pricing Agreement (APA)
Negara-negara
yang melihat bahwa perbuatan tersebut dapat mengganggu penerimaan pajaknya,
membuat ketentuan yang mengatur agar transaksi yang terjadi antarperusahaan
yang mempunyai hubungan istimewa menggunakan harga wajar, yaitu harga yang
terjadi akibat transaksi yang dilakukan oleh dua perusahaan yang masing-masing
independen. Dalam rangka terdapat penyesuaian harga transfer antara otoritas
pajak dengan para wajib pajak, telah diperkenalkan model “Kesepakatan Harga
Transfer-Advance Pricing Agreement” sebagaimana disebutkan dalam bagian
penjelasan atas pasal 18 ayat 3a UU No. 36 Th 2008 tentang Pajak Penghasilan
yang menyatakan bahwa kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib
Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib
Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara
lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain,
tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian
hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi
atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan
dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan
antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu
kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang
menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Prosedur
penerapan APA umumnya dilakukan sebagai berikut:
a. WP mengajukan permohonan kepada
Instansi Pajak untuk dapat diberlakukannya APA untuk suatu periode tertentu.
b. Selanjutnya WP mempresentasikan
usulan besaran harga yang akan diterapkan lengkap dengan semua data yang
diperlukan untuk menghitung besaran harga tersebut.
c.
Oleh
Instansi Pajak, atas usulan besaran harga tersebut dilakukan semacam pengujian
untuk meyakinkan sampai sejauh mana usulan tersebut dapat diterima.
- Metode Penentuan Harga Wajar
Sesuai ketentuan UU PPh pasal 18 ayat 3,
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
a.
Metode
Harga Pasar Sebanding (Comparable Uncontrolled Price Method)
Metode
ini diterapkan dengan pembandingan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan
isitmewa tersebut dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa (pembanding independen).
Contoh:
PT
A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B, PT A
membebankan harga jual Rp160 per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan
atas penyerahan barang yang sama kepada PT X yang tidak mempunyai hubungan
istimewa, yaitu Rp200 per unit. Dalam hal ini, harga wajar atas barang tersebut
adalah Rp200 per unit.
b. Metode Harga Penjualan
Kembali (Resale Price Method)
Metode
ini diterapkan dalam hal wajib pajak yang diperiksa bergerak dalam bidang usaha
perdagangan yaitu produk yang telah dibeli dijual kembali (resale) kepada pihak
lainnya.
Contoh:
Berhubungan
dengan contoh 1, PT B menjual kembali barang yang dibeli dari PT A kepada pihak
ketiga yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp250 per unit. Perusahaan
lain, PT C, yang independen, juga menyerahkan produk yang sama kepada PT B yang
juga independen, dengan kenaikan harga jual 20%. Dengan demikian harga jual
yang wajar dari PT A kepada PT B adalah Rp250 – (20% x Rp250) = Rp200.
c. Metode Harga Pokok Plus
Metode
ini umumnya digunakan pada usaha pabrikasi yang menjual produk kepada
afiliasinya untuk diproses lebih lanjut.
Contoh:
Berhubungan dengan contoh 1, misalnya PT
A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu dari pemasok yang tidak ada hubungan
istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi adalah Rp150 dan diketahui laba
kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antarpihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah 40% dari harga pokok. Maka harga
jual yang wajar atas barang tersebut dari PT A ke PT B adalah Rp150 + (40% x
Rp150) = Rp210.
D. TREATY SHOPPING
Treaty shopping adalah
suatu skema untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif pemotongan pajak (withholding
taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax
treaty oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan
fasilitas penurunan tarif pemotongan pajak tersebut, atau dapat dikatakan bahwa
treaty shopping merupakan penggunaan P3B oleh wajib pajak yang bukan wajib
pajak dalam negeri dari negara mitra perjanjian melalui conduit company di
salah satu negara mitra perjanjian untuk mendapat fasilitas yang diberikan oleh
P3B yang bersangkutan.
Misalnya P3B Indonesia
dengan Belanda menurunkan tarif potongan pajak atas bunga dari 20% menjadi 0%.
X co adalah wajib pajak negara C yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia.
Kalau X co membeli langsung obligasi PT A (wajib pajak di Indonesia), maka
bunganya akan dikenakan pemotongan pajak karena antara negara C dan Indonesia
tidak mempunyai P3B. Untuk menganulir
beban pajak tersebut X co bisa menitipkan sejumlah dana ke BBv (perusahaan
afiliasi) di Belanda untuk membeli obligasi PT A. Dengan skema itu maka bunga
obligasi yang dibayar PT A kepada BBv tidak dikenakan pajak, sesuai P3B
Indonesia dan Belanda. Di Belanda, BBv membayar bunga kepada X co dan tidak ada
potongan pajak atas bunga. BBv selain tidak kena pajak karena penghasilan bunga
akan dikurangi dengan biaya bunga, juga tidak memotong pajak atas bunga yang
dibayarkan tersebut. Bunga tersebut akhirnya hanya akan kena pajak di negara C
apabila negara ini menerapkan pemajakan global.
E.
APLIKASI PAJAK INTERNASIONAL DALAM
PERUSAHAAN MULTINASIONAL
Dalam rangka
mengevaluasi kebijakan perdagangan dan efektivitas lalu lintas modal
internasional, adalah kurang efisien apabila hanya difokuskan secara sempit
pada tarif, kuota dan subsidi-subsidi non-pajak saja, sebaba faktor pajak pun
tidak sedikit perannya dalam evaluasi kebijakan dimaksud. Kebijakan perpajakan
kadang-kadang sangat berperan dalam pengambilan keputusan mengenai penanaman
dan pembiayaan perusahaan yang akan melakukan investasi di luar negeri.
Walaupun pada dasarnya sistem perpajakan di seluruh dunia hampir serupa satu
sama lainnya, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan-perbedaan yang
menyangkut berbagai dimensi, seperti:
1.
Tarif
marjinal yang berbeda secara esensial dari tarif 0% di negara-negara yang
disebut surga pajak (tax-haven countries), sampai tarif 60% di negara-negara
tertentu yang dikenal sebagai negara berpajak tinggi (high-tax countries).
2.
Definisi
penghasilan yang berbeda secara dramatis antar-satu negara dengan negara
lainnya.
3.
Pengertian
tentang penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan pajak.
4.
Wajib
pajak hanya dipajaki dari penghasilan dalam negeri atau termasuk penghasilan
luar negeri.
Perusahaan
multinasional memiliki posisi yang menentukan dalam hal prinsip yang akan
digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya, maka dapat saja
perusahaan multinasional menggunakan harga yang menyimpang dari harga yang
berlaku secara umum. Penyimpangan harga dimaksud adalah penyimpangan dari harga
yang disebut “arm’s length price” yang lazimnya berlaku dan disetujui oleh
kedua belah pihak yang melakukan transaksi terhadap barang yang sama dan dalam
kondisi yang sama pula, apabila perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan
istimewa. Perusahaan multinasional tersebut dapat saja melakukan transaksi
antargrup yang menyimpang dari arm’s length price, apakah harga transaksi lebih
rendah atau lebih tinggi, hal ini disinyalir sebagai usaha untuk menggeser laba
perusahaan dari satu grup ke grup lainnya yang berarti pula pajak yang terutang
di kedua grup yang terlibat tersebut akan mengalami perubahan.
Oleh
karena instansi pajak dari masing-masing negara yang terlibat, merasa perlu
untuk menentukan berapa besar penghasilan kena pajak yang wajar dari unit
perusahaan atau cabang-cabang perusahaan dari suatu grup yang beroperasi di
daerah yurisdiksinya, maka sangatlah penting untuk mempelajari masalah
kebijakan harga (price method) yang diterapkan di perusahaan multinasional
tersebut, khususnya apabila instansi pajak yang bersangkutan mempunyai alasan
yang kuat bahwa unit/grup perusahaan di daerah yurisdiksinya melaporkan dalam
SPT penghasilan kena pajak yang tidak wajar. Untuk ini, undang-undang
perpajakan di negara yang bersangkutan hendaknya memungkinkan instansi pajak di
negara tersebut untuk melakukan verifikasi dan bahkan sampai kepada penyidikan
sekalipun serta mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi fiskal terhadap
harga transfer yang dilaporkan dalam SPT, sesuai dengan arm’s length price.
Masalah
yang paling sering dibicarakan dalam rangka perencanaan pajak perusahaan
multinasional adalah menyangkut masalah pengenaan pajak atas penghasilan yang
berbeda yurisdiksi pajaknya. Pemecahan masalah ini biasanya dilakukan melalui
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, yang bertujuan mencegah pengenaan pajak
berganda atas penghasilan perusahaan multinasional dengan cara memecah-mecah
penghasilan dan biaya yang dialokasikan di berbagai yurisdiksi pajak tersebut.
5 komentar: