Konsep Dasar PPN dan PPnBM
A. Karakteristik dan Mekanisme Pengenaan PPN dan PPnBM
Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang
atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris,
PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh
pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain,
penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia
tanggung.
Mekanisme pemungutan,
penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga
muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN
yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan.
Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan
pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau
membuat produknya.
Indonesia menganut sistem
tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang
digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983
berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No.
18/2000. Barang tidak kena PPN. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya.
Mekanisme PPnBM diatur dalam pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 UU PPN, yang
sama secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Atas impor dan Penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh PKP yang menghasilkan
BKP yang tergolong Mewah tersebut disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM.
b. PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu Impor atau pada waktu menyerahkan
BKP yang tergolong Mewah tersebut oleh pabrikan.
c. PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap PPnBM;
d. Tarif PPnBM yang berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 berkisar antara 10% sampai
dengan 35% dengan UU No. 11 Tahun 1994 diubah menjadi setinggi-tingginya 50%
dan dengan UIJ No. 18 Tahun 2000 diubah lagi menjadi setinggi-tingginya 75%.
e. Atas ekspor BKP yang tergolong mewah dapat meminta kembali PPnBM
yangtelah dibayar pada waktu perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor tersebut.
Karakteristik
PPnBM sebagai berikut:
1. PPnBM merupakan pungutan tambahan BKP Mewah selain PPN
2. PPnBM hanya dikenakan sekali yaitu pada saat impor atau pada saat penyerahan
BKP Mewah oleh PKP Pabrikan.
3. PPnBM tidak dapat dikreditkan sehingga diperlakukan sebagai biaya
4.
Dalam hal BKP Mewah diekspor, maka PPnBM yang
dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali (restitusi).
B. Objek Pajak dan Yang Dikecualikan
Objek PPN
1. Setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut PPN, kecuali :
a.
Pembayaran yang jumlahnya tidak
lebih dari Rp 500.000 termasuk PPN/PPnBM dan tidak merupakan jumlah yang
terpecah-pecah
b.
Pembayaran untuk pembebasan tanah
c.
Pembayaran atas penyerahan BKP
yang PPNnya ditanggung oleh Pemerintah
d.
Pembayaran BBM dan Non BBM yang
penyerahannya dilakukan oleh Pertamina
e.
Pembayaran atas jasa
telekomunikasi yang diserahkan oleh PT Telkom
f.
Pembayaran atas Jasa Angkutan
Udara Dalam Negeri
g.
Pembayaran kepada perseorangan
yang mnyewakan ruangan atau rumah tinggal yang nilai sewa seluruhnya tidak
melebihi Rp 30.000.000 setahun
h.
Pembayaran untuk penyerahan bukan
BKP dan bukan JKP
i.
Pembayaran untuk penyerahan JKP
yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah yang menjalankan fungsi Pemerintah
j.
Pembayaran atas penyerahan JKP
yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah kepada Instansi Pemerintah lainnya
sepanjang dananya berasal dari APBN/D dan Instansi Pemerintah yang menerima
pembayaran memasukkannya kedalam Mata Anggaran penerimaan instansi tersebut
k.
Pembayaran kepada Rekanan non PKP
atau non NPWP yang tidak didasarkan atas kontrak.
2.
Pembayaran kepada Rekanan non PKP
atau non NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP berdasarkan kontrak /purchase
order.
Objek PPnBM
1. Semua jenis kendaraan bermotor untuk kendaraan dinas TNI/POLRI dan untuk
tujuan Protokoler Kenegaraan, sepanjang dananya berasal dan APBN/APBN.
2. Semua jenis kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor untuk kendaraan
ambulan, tahanan, pemadam kebakaran, dan mobil jenazah
3. Kendaraan Angkutan umum sebagai berikut;
•
Kendaraan bermotor
yang digunakan untuk pengangkutan orang danbarang
•
Yang disediakan
untuk umum dengan dipungut bayaran
•
Selain dengan cara
persewaan (charter)
•
Baik dengan trayek
maupun tidak
•
Sepanjang
menggunakan plat dasar nomor Polisi warna kuning
4. Kendaraan pengangkutan barang yaitu,
•
Kendaraan bermotor
dalam bentuk kendaraan baik terbuka atau kendadaraan baik tertutup
•
Dengan jumlah
penumpang tidak lebih dan tiga orang termasuk pengemudi
•
Yang digunakan
untuk kegiatan pengangkutan barang baik yang disedialuntuk umum maupun pribadi.
C.
Pengusaha Kena Pajak
Tercantum dalam Pasal 1 angka 15
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 bahwa Pengusaha (Perusahaan) yang tidak
termasuk Pengusaha Kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak /Jasa Kena Pajak.
Pengusaha yang memenuhi syarat ini, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak sebelum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. Pengusaha kecil yang
menyerahkan BKP/JKP, dan memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak.
a. Pengusaha yang baru berniat akan
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (dalam tahap pra
operasi/belum berproduksi komersial), artinya perusahaan tersebut belum memulai
usahanya tetapi dari kegiatan persiapan yang dilakukan seperti pembelian barang
modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa Pengusaha ini berniat akan
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
b. Bentuk kerja sama operasi (Joint Operation/Joint Venture) yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. Apabila Joint Operationt tersebut hanya
merupakan alat koordinasi, sedangkan transaksi penyerahan BKP/JKP tetap
dilakukan sendiri-sendiri oleh peserta JO, maka JO tersebut tidak perlu
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
a. Sejak 1 Januari 2003 Batasan
Pengusaha kecil adalah Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) untuk pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
b. Sebelum 1 Januari 2003 Batasan
Pengusaha Kecil adalah :
1. Rp 360 Juta peredaran bruto
setahun untuk :
§ Pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP
§ Pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan BKP lebih dari 50% dari total
peredaran bruto dan penerimaan bruto
2. Rp 180 Juta peredaran bruto
setahun untuk :
§ Pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP
§ Pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan JKP lebih dari 50% dari total peredaran
bruto dan penerimaan bruto.
c. Beberapa hal seputar pengukuhan
PKP :
1. Pengusaha kecil yang omsetnya
telah melampaui batasan omset Rp 600 juta, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan setelah bulan
terlampauinya batasan tersebut. Apabila batas waktu pelaporan tersebut
terlampaui, maka saat pengukuhan sebagai PKP adalah awal bulan berikutnya.
2.
Dalam hal
pengukuhan dilakukan secara jabatan, maka saat pengukuhan adalah awal bulan
kedua setelah bulan terlampauinya batasan pengusaha kecil.
D. Penyerahan dan Bukan Penyerahan
Penyerahan yang
dikenakan PPN meliputi:
1.
penyerahan hak karena suatu perjanjian;
2.
pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian
leasing;
3.
penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4.
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
5.
penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk
diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu
memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang
bersangkutan;
6.
penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau
sebaliknya;
7.
penyerahan secara konsinyasi.
E.
Barang dan Jasa Kena
Pajak
Jasa kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atauperbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang
atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang PPN 1984. Dan dasar hukum Jasa Kena Pajak tercantum pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000.
Sedangkan Jasa adalah ( Pasal 1
angka 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 )
setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang/ fasilitas/ kemudahan/ hak tersedia untuk
dipakai termasuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan dengan bahan dan
petunjuk pemesan. Contoh, jasa konsultan, jasa sewa, jasa konstruksi dan jasa
lainnya.
Pada prinsipnya, semua jasa
merupakan Jasa Kena Pajak (JKP) kecuali yang dinyatakan lain oleh undang-undang
PPN itu sendiri. Dengan demikian, yang diatur secara rinci dalam undang-undang
PPN adalah jasa-jasa yang bukan merupakan jasa kena pajak, yaitu di pasal 4A UU
No.18 Tahun 2000 dan secara otomatis jasa-jasa lainnya merupakan Jasa Kena
Pajak.
Pengecualian JKP
Jenis-Jenis Jasa Tidak Kena Pajak
menurut Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 144 TAHUN 2000 adalah sebagai berikut:
1.
|
Jasa di bidang pelayanan
kesehatan medis, misalnya jasa dokter umum, dokter spesialis, dokter hewan,
jasa rumah sakit, dan lain-lain.
|
2.
|
Jasa di bidang pelayanan
sosial, misalnya jasa pelayanan panti asuhan, jasa pemberian pertolongan pada
kecelakaan, jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial, dan
sebagainya.
|
3.
|
Jasa di bidang pengiriman surat
dengan perangko.
|
4.
|
Jasa di bidang perbankan, jasa
asuransi, dan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi (capital lease).
-
|
Jasa penghimpunan dana (giro,
deposito, tabungan dan lain-lain);
|
-
|
Jasa penyaluran dana
(perkreditan) ; dan
|
-
|
Jasa di bidang lalu lintas
keuangan giral dan kartal.
|
Jasa-jasa di atas merupakan
kegiatan jasa yang merupakan usaha pokok bank, dan sesuai dengan UU Tentang
Perbankan tidak diperbolehkan dilakukan oleh lembaga usaha non bank.
Jasa-Jasa Yang Dilakukan Oleh Bank Tetapi Merupakan Jasa Kena Pajak
(Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 ) adalah sebagai berikut:
-
|
Jasa penyediaan tempat untuk
menyimpan barang dan surat berharga (penyewaan safe deposit box).
|
-
|
Jasa penitipan (safe Custody)
yaitu ; jasa penyimpanan, penjagaan, dan pemeliharaan surat-surat berharga.
(SE -
25/PJ.53/1995 )
|
-
|
|
-
|
|
|
5.
|
Jasa di bidang keagamaan, yaitu
jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pelayanan khotbah dan dakwah dan jasa lain
di bidang keagamaan.
|
6.
|
Jasa di bidang pendidikan,
yaitu jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah dan jasa penyelenggaraan luar
sekolah (kursus-kursus).
|
7.
|
Jasa di bidang kesenian dan
hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan (Pajak Daerah), seperti
pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
|
8.
|
Jasa di bidang penyiaran yang
bukan bersifat iklan, seperti penyiaran radio dan televisi yang dilakukan
oleh instansi pemerintah atau swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
|
9.
|
Jasa angkutan umum di darat dan
di air, yaitu jasa angkutan yang dilakukan pemerintah atau swasta.
|
10.
|
Jasa di bidang tenaga kerja,
misalnya jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
|
11.
|
Jasa di bidang perhotelan
(telah dikenakan Pajak Daaerah).
|
12.
|
Jasa yang disediakan oleh
Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan secara umum, seperti Pemberian Izin
Mendirikan Bangunan, Pemberian Izin Usaha Perdagangan, Pemberian NPWP,
pembuatan KTP.
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak (
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
Dalam pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Penyerahan Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pemberian JKP, termasuk
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas Jasa Kena Pajak. Sama halnya
dengan pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas BKP, pemakaian sendiri
atau pemberian cuma-cuma atas JKP juga harus dikenakan PPN. Sebagai contoh, Perusahaan jasa konstruksi (kontraktor)
membangun bangunan untuk dipakai sendiri. Dalam hal ini, perusahaan tersebut
harus mengenakan PPN kepada dirinya sendiri sebesar 10% dari harga pokok (biaya
bangunan tersebut).
F.
Tarif dan Pengenaan Pajak
Atas penyerahan BKP yang tergolong mewah dan impor barang
yang tergolong mewah serendah rendahnya adalah 10 % ( sepuluh persen ) dan
setinggi tingginya 75 %
1.
selain kendaraan bermotor terdiri dari
enam lapis yaitu : 10 %,20 %, 30 %,40 %,50 % dan 75 %
2.
kendaraan bermotor terdiri dari tujuh
lapis, yaitu : 10 s/d 60 % dan 75 %
3.
Atas export BKP yang tergolong mewah
adalah 0 %
Dasar pengenaan pajaknya adalah harga jual untuk BKP yang
tergolong mewah dan nilai impor untuk impor barang mewah yang didalamnya sudah
termasuk PPn dan PPnBM
PPn = ( 10 / 110
+t ) x harga jual BKP
PPnBM = ( t / 110 +t ) x harga jual BKP
PPN yang terutang = tarif x DPP
PPN yang terutang
merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh PKP penjual dan merupakan
Pajak Masukan bagi PKP pembeli.
G.
Cara Menghitung PPN dan PPnBM
Untuk
menghitung PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena
Pajak yang tergolong
Mewah, perlu diperhatikan
tiga faktor sesuai
karakteristiknya, yaitu:
a.
PPnBm hanya dipungut satu kali
b.
PPnBm tidak dapat dikreditkan sehingga
dapat dibebankan sebagai biaya
c.
PPN tidak menghendaki terjadi pungutan pajak berganda.
Mendasarkan pada faktor-faktor
tersebut, maka
PPN = Tarif PPN x
(Harga Barang - PPnBM).
Contoh:
PT
NASIONAL selaku importir memasukkan 1000
unit AC/ dengan Harga Impor (CIF)
USD 500,000.00. Atas
kegiatan impor ini
terutang Bea Masuk 50%, PPN 10% dan PPnBM 20%.
Diketahui Nilai Kurs
USD 1 =
Rp2.000. PPN dan PPnBM yang terutang dihitung sebagai berikut:
Dasar
Pengenaan Pajak imtuk
menghitung PPN dan
PPnBM atas Impor adalah:
Nilai Impor = Harga Impor (CIF) + Bea
Masuk
Harga Impor (CIF) =
500.000 x Rp2.000,00 = Rp l.000.000.000,00
Bea Masuk 50% Rp 500.000.000,00
Nilai Impor Rp
l.500.000.000,00
PPN =10% x Rp l.500.000.000,00 = Rp 150.000.000,00
PPnBM = 20% x Rp l.500.000.000,00 = Rp 300.000.000,00
Jumlah yang dibayar oleh Importir Rp l.950.000.000,00
Sedangkan harga
perolehan atas Impor
1000 unit AC
adalah sama dengan Nilai lmpor sebesar Rp l.500.000.000,00
Apabila kemudian Importir menyerahkan AC
tersebut kepada distributor dengan
harga per-unit AC adalah Rp
2.800.000.00, maka Distributor akan membayar atas
penyerahan AC per-unit
termasuk PPN dengan perhitungan sebagai berikut:
Harga per unit AC Rp 2.800.000,00
Dikurangi unsur PPnBM yang terkandung
didalamnya = 1/1000 x Rp 300.000.000 = Rp 300.000,00
Dasar Pengenaan PPN = Rp 2.500.000
PPN yang terutang = 10%
x Rp 2.500.000,- = Rp 250.000/00
Untuk
penyerahan per unit
AC yang diterima
oleh Distributor, ia
harus membayar:
Harga per unit AC =
Rp 2.800.000,00
PPN = Rp
250.000,00
Jumlah Rp
3.050.000,00
,
Disamping pola penghitungan tersebut,
kiranya perlu dikemukakan ada pola penghitungan lain tentang hal ini, yaitu
yang ditegaskan Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE -43/PJ.5/1989
tanggal 7 Agustus 1989 (Seri PPN-155)
sehingga apabila diterapkan terhadap
contoh kasus tersebut, maka akan
diperoleh hasil sebagai berikut:
Penyerahan oleh PT NASIONAL selaku
importir kepada Distributor:
Harga perolehan per-unit = Nilai impor
per – unit = Rp 1.500.000
Nilai Tambah per-unit = Harga
penyerahan- PPnBM - Nilai Impor =
Rp 2.800.000,00 – Rp 300.000,00 – Rp
l.500.000,00 = Rp 1.000.000
Harga Jual per unit = Rp 2.500.000 X
10% = Rp
250.000
PPnBM telah dibayar ke Bank Devisa
per–unit = Rp
300.000
Jumlah yang dibayar oleh Distributor Rp
3.050.000
Dari dua pola
penghitungan ini diperoleh
hasil yang sama.
Yang perlu diingat adalah
bahwa PPN tidak
membentuk harga barang,
sedangkan sebaliknya PPnBM membentuk
harga barang. Hal
ini disebabkan oleh karakter dari PPN yang dapat dikreditkan
sedangkan PPnBM tidak dapat di kreditkan sehingga akan dibebankan sebagai
biaya.
H.
Saat dan tempat pajak terutang:
1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik
kegiatan membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang dan
lain-lain).
2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara
tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
3. Tempat pajak terutang atas kegiatan pajak membangun sendiri adalah di
temapt bangunan tersebut didirikan.
I.
Faktur Pajak
Faktur pajak adalah
bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan
penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak atau bukti
pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat
jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini merupakan
bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau penerima jasa
faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak masukan.
Faktur pajak dapat
digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut tidak cacat.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur pajak itu
dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirri-ciri
faktur pajak standar:
1.
Diisi dengan data yang tidak benar
Pengisian data yang
tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak yang tidak benar.
Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan nama pembeli atau
nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.
2.
Diisi tidak lengkap
Pengisian faktur pajak
standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang ternyata tidak diisi
kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk diisi oleh pabrikan atau importir
Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Pengisian tidak lengkap dapat
berupa:
·
Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
·
“jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi
·
Pada baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak dicoret
pada bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian
bawah sebelah kiri.
·
Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan
·
Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor
KEP-549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan
dibubuhkan pada faktur pajak.
3. Pengisian atau
pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
4. Faktur pajak dibuat
melampaui batas waktu yang telah ditentukan
5. Faktur pajak dibuat oleh
pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP)
Berdasarkan pasal 14
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1984) orang atau badan yang tidak
dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk membuat faktur pajak. Faktur pajak yang
dibuat oleh pengusaha non PKP secara yuridis tidak sah. Oleh karena itu pajak
masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan leh PKP pembeli atau
penerima JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP namun
menerbitkan faktur pajak maka menurut Ketentuan Umum Perpajakan akan dikenai
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 39A sebagai berikut yang intinya
adalah bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi
belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara
paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam)
kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
J.
Dasar Pengenaan Pajak
Secara umum Dasar Pengenaan Pajak adalah
Nilai berupa uang yang dijadikan Dasar untuk menghitung Pajak yang terutang
adalah :
1.
|
DPP Umum
Dasar Pengenaan
Pajak yang umum digunakan adalah:
|
|
-
|
Harga Jual
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
|
|
-
|
Penggantian
adalah nilai
berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
|
|
-
|
Nilai Ekspor
adalah nilai
berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
|
|
-
|
Nilai Impor
adalah nilai
berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-undang ini.
|
2.
|
DPP Nilai Lain
Nilai Lain
adalah suatu Nilai yang Ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk
menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
DPP untuk :
|
|
-
|
Pemakaian
sendiri adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
|
|
-
|
Pemberian
cuma-cuma adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
|
|
-
|
Penyerahan
rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
|
|
-
|
Persediaan BKP
yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan sepanjang PPN atas perolehan
atas aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar wajar;
|
|
-
|
Aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
|
|
-
|
Kendaraan
bermotor bekas adalah 10% dari harga jual;
|
|
-
|
Penyerahan jasa
biro perjalanan/wisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih;
|
|
-
|
Penyerahan jasa anjak
piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service
charge, provisi, dan diskonl.
|
|
Pajak masukan
yang dibayar oleh PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain untuk menghasilkan
penyerahan:
|
|
-
|
Kendaraan
bermotor bekas
|
|
-
|
Jasa biro
perjalanan/pariwisata
|
|
-
|
Jasa anjak
piutang
|
|
tidak dapat dikreditkan karena dalam PPN yang dibayar telah
diperhitungkan dengan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP tersebut.
|
Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM
1.
perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2.
perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah;
3.
perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4.
perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
K.
Hubungan Istimewa dan Kaitannya dengan DPP
Dalam hal harga jual atas Barang
Kena Pajak atau penggantian atas Jasa Kena Pajak dipengaruhi adanya hubungan istimewa, maka harga
jual atau penggantian tersebut dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut.
Hubungan
Istimewa terjadi dalam hal :
-
|
Pengusaha mempunyai penyertaan
langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada Pengusaha lain, atau
hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan sebesar 25% atau lebih pada dua
Pengusaha atau lebih. Demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih
yang disebutkan terakhir.
|
-
|
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya
atau dua Pengusaha atau lebih berada dibawah penguasaan Pengusaha yang sama,
yaitu penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
|
-
|
Hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu
derajat :
-
|
Sedarah lurus satu derajat,
yaitu: ayah/ibu dengan anak
|
-
|
Sedarah kesamping satu
derajat, yaitu: kakak dengan adik
|
-
|
Semenda lurus satu derajat,
yaitu: mertua dengan menantu atau ayah/ibu dengan anak tiri
|
-
|
Semenda kesamping satu derajat,
yaitu: hubungan saudara ipar
|
-
|
Jika antara suami istri ada
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan keduanya
merupakan hubungan istimewa.
|
|
L.
Penyetoran dan Pelaporan
1. PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan
atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan
membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal
kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP
tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN
tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
2.
Orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan pada KPP di tempat
bangunan tersebut berada dengan mempergunakan SSP lembar ke tiga bukti setoran
PPN paling lambat tanggal 20 pada bulan dilakukannya penyetoran.
M. Kredit Pajak Masukan
Yang melatarbelakangi
sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak berganda,
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung
besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh
karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka
ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang
terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Meskipun demikian, agar
tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka tidak setiap
pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi
persyaratan. Melalui sistem
pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga)
alternatif:
1.
masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan;
2.
terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil
daripada Pajak Masukan;
3.
tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak
Keluaran sama dengan Pajak Masukan.
4.
Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
5.
Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk
mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan
tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), di samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif.
Contoh Kasus:
1.
Pengusaha sepatu pada bulan januari
2011 menjual tunai kepada pengusaha sepatu A sebanyak 100 pasang sepatu @ Rp
100.000 = Rp 10.000.00
Hitung PPN dan jumlah yang harus
dibayar oleh pengusaha sepatu b kepada pengusaha sepatu B
Jawab:
1.
PPN terutang yang dipungut oleh
pengusaha A
10 % X Rp 10.000.000 = Rp 1.000.000
2.
Jumlah yang harus dibayar pengusaha B
adalah = Rp 11.000.000.
2.
Pengusaha kena pajak D yaitu pengusaha
pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian, mesin cuci pakaian sendiri dikategorikan
sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM dengan tariff sebesar 20
%. Dalam bulab januari 2011 pabrikan berhasil menjual 10 buah mesin cuci kepada
pengusaha kena pajak E seharga Rp 30.000.000
Hitung PPn dan PPn BM yang terutang ?
Jawab :
• PPn yang terutang
10 % x
Rp 30.000.000 = Rp 3.000.000
• PPn BM yang terutang
20 % x
Rp 30.000.000 = Rp 6.000.000
“Sehingga PPn dan PPnBM yang terutang pengusaha kena
pajak D adalah Rp 9.000.000”
3.
PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B"
100 pasang sepatu @ Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00
PPN terutang yang dipungut oleh PKP"A"
10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
Jumlah yang harus dibayar PKP "B" = Rp.11.000.000,00
4.
PKP "B" dalam bulan Januari 1996 :
• Menjual 80 pasang sepatu
@ Rp.120.000,00 = Rp. 9.600.000,00
• Memakai sendiri 5 pasang
sepatu untuk pemakaian sendiri, DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba
kotor, yaitu Rp 100.000,- per pasang = Rp 500.000,00
PPN yang terutang :
• Atas penjualan 80 pasang
sepatu
10% x Rp.9.600.000,00 =
Rp 960.000,00
•
Atas pemakai sendiri
10% x Rp.500.000,00 = Rp 50.000,00
Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000,00
5.
PKP Pedagang Eceran (PE) "C" menjual
•
BKP seharga = Rp.10.000.000,00
• Bukan BKP = Rp.
5.000.000,00
Rp.15.000.000,00
PPN yang terutang
10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
PPN yang harus disetor
10% x 20% x Rp.15.000.000,00 = Rp. 300.000,00
6.
PKP "D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci
pakaian dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM
dengan tarif sebesar 20%. Dalam bulan Januari 1996 PKP "D" menjual 10
buah mesin cuci kepada PKP "E" seharga Rp.30.000.000,00.
•
PPN yang terutang
10% x Rp.30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
•
PPn BM yang terutang
20% x Rp. 30.000.000,000 = Rp 6.000.000,00
PPN dan PPn BM yang terutang PKP "D" = Rp. 9.000.000,00
0 komentar: